Minggu, 25 Mei 2008

KESEIMBANGAN....?

Banyak orang yang berbicara tentang keseimbangan dalam menjalani kehidupan ini. Dan hampir pembicaraan itu ada setelah melihat ada orang yang terlalu terkesan serius dalam menjalankan agamanya sampai-sampai terlihat telah melupakan dunianya (baca: rumah tangganya – bagi yang sudah berkeluarga)

Untuk lebih meyakinkan bahwa apa yang telah dilakukan oleh orang tersebut di atas kurang benar, diambillah dalil (yang menurut orang kebanyakan diduga adalah sebuah hadits) dari perkataan seorang sahabat Nabi saw Ali Ra.

Artinya :

“Bekerjalah kalian untuk dunia kalian seakan-akan kamu hidup selamanya. Dan bekerjalah (beribadahlah) kalian untuk Akhirat kalian seakan-akan kamu akan mati besok”

Sebenarnya saling mengingatkan itu sangat dianjurkan – bahkan sangat di wajibkan. Namun yang sering terjadi adalah kita sering melupakan diri kita sendiri. Kita melupakan standar indikator (mengutip istilah seorang anggota dewan), syarat-sayat atau wazan (timbangan – istilah dalam keulamaan) untuk mengetahui apakah kita ini sudah seimbang atau belum – atau tidak sama sekali. Jangan-jangan yang menilai dan yang dinilai juga sudah terlalu berlebihan, yang satu betul-betul dalam menjalankan ibadah dan dakwahnya melalaikan keluarganya, dan yang yang lain telah terjebak dalam penumpukkan harta (.....namun tidak kaya-kaya juga). Lantas muncul pertanyaan: ”siapakah diantara mereka berdua yang termasuk ’golongan’ selamat?” boleh jadi kedua-duanya tidak selamat. Pasalnya, yang conset terhadap agamanya sehingga melupakan keluarganya bisa dituntut oleh anak dan istrinya (atau keluarganya) karena tidak peduli akan agama anak dan istirinya (atau keluarganya), dan yang selalu menilai orang di atas – sementara ia sibuk dengan urusan dunianya akan dituntut pula oleh anak dan istirinya (atau keluarganya), karena tidak memperhatikan kehausan rohaniyah dari anak dan istirinya (atau keluarganya) bahkan dirinya. Tapi lagi-lagi ya kembali pada niat dan proses dalam menjalan kegiatan apapun bukan? Niat baik kalau prosesnya salah akan tertolak. Bila prosesnya baik namun niatnya rusak juga akan tertolak.

Kembali pada permasalah indikator, syarat-syarat atau wazan (timbangan) dalam menentukan keseimbangan dunia dan akhirat. Untuk bisa tepat dalam menginterpretasikan (mengartikan – lebih mudahnya) torang harus kembali pada dasar atau dalil di atas. Kita bahas kalimat-kalimatnya.

Pertama : ”Bekerjalah kalian untuk dunia kalian seakan-akan kalian hidup selamanya”

Pertanyaan : sudah-kah kita telah mengusahakan untuk dunia kita seperti – [seakan-akan] kita akan hidup selamanya.

Menurut saya, kalimat ”Bekerjalah kalian untuk dunia kalian seakan-akan kalian hidup selamanya” adalah kalimat filosopi yang mempunyai makna tersirat seperti ini: ”yok kita bekerja, kita ekspolari alam ini, kita cari emas, kita cari duit. Tapi ingat ....... semua yang ada ini bukan hanya untuk generasi kita tapi juga generasi sesudah kita, ada anak-anak kita, cucu-cucu kita. Toh kalau kita bisa hidup selamanya, pun kita masih memerlukan modal untuk dapat bertahan, bukan?”

Saya teringat sebuah tayangan TV Edukasi punya-nya Diknas yang kebetulan saat itu menayangkan tentang ekonomi jepang hasil per-laut-an. Untuk menjaga kesetabilan ekspor [atau bahkan meningkatkan] ekspor ikan tuna, Jepang menggunakan tekhnologi yang bernama GPS (Global Position Sistem) untuk melacak pergerakan ikan tuna di perairan tangkapanya. Ternyata ikan tuna memiliki gerombolan-gerombolan (bukan gerombolan si berat dalam cerita Donald Duck) yang selalu berjalan bersama gerombolannya masing-masing. Nah dengan ditangkapnya beberapa ikan itu dalam masing-masing gerombolan dan telah dipasangi GPS (prosesnya begini: ikan ditangkap, lalu bagian bawah dekat sisi perutnya dibelah, setelah itu dimasukkan lah GPS kedalamnya, setelah itu dijahit, lalu dilepaskan kembali) maka akan ditahu mana gerombolan ikan yang yang sudah dieksploitasi, mana yang sedang dalam perkembangan, dan mana yang sudah harus dikejar (kayak buron aja). Akhirnya mereka bisa mendapat hasil yang bagus dan ketahanan dalam pencapaian hasil penangkapan setelahnya bahkan bisa selamanya. Inilah yang saya maksud dengan ”Bekerjalah kalian untuk dunia kalian seakan-akan kalian hidup selamanya” (maaf : tidak seperti di Indonesia kan. Hasil alamnya habis eh generasinya tetap miskin, sudah tidak bisa menikmati hasil alamnya selama-lamanya. MISKIN LAGI).

Yang kedua: ”Bekerjalah (beribadahlah) kalian untuk akhirat kalian seakan-akan kalian akan mati besok.”

Pertanyaan: sudah?

Contoh: Perbandingan orang yang melakukan sholat jama’ah dan orang yang melakukan sholat sendiri. Sholat berjama’ah akan mendapatkan 25 derajat (ada yang mengatakan 27 derajat) dan sholat sendiri hanya akan mendapat 1 derajat. Logikanya begini: untuk berpergian jauh, sebutlah ke Jakarta, supaya enak dalam perjalan dan enak bila sudah sampai disana maka sangat bergantung pada modal yang kita bawa bukan? Kalau banyak kita bisa naik kendaraan tercepat, ternyaman dan ............. udah pokoknya yang ter dech. Sudah begitu, sampai di jakarta kita bisa mengunjungi tempat-tempat yang kita inginkan, main apa saja yang kita idam-idamkan. Beli apa saja yang sudah menjadi impian kita. Itu kalau uang yang kita bawa banyak (tentunya milik kita dong, masa pakai uang rakyat. Kalau pakai uang rakyat itu berarti PANCURI – maaf kalau tersinggung)

Tentunya jika disuruh pilih, dalam memodali perjalanan kita apakah kita pilih modalnya yang banyak ataukah yang sedikit? Saya yakin jawabanyaa sama dengan apa yang ada dalam benak saya saat menulis ini (pilih yang sedikit dong untuk dihilangkan dari pilihan itu) nah bagaimana dengan pilihan 25 derajat dan 1 derajat tadi?.

- Eh.... maaf kita ini bicara tentang bekerja untuk akhirat kita dan kita seakan-akan akan mati besok. (-jangan marah gitu dong ah) -

Siapa tau dengan dapatnya kita 25 derajat memudahkan kita berseluncur di shirat menuju surga. Dan jika 1 derajat membuat kita tergopoh-gopoh menapaki perjalan tersebut.

Ada pertanyaan masuk dari sms bernomor 08143xxxxxx :

”kan semua itu bukan tergantung amal kita tapi tergantung rahmat Allah”

Jawaban:

”Betul semua tergantung rahmat Allah, tapi rahmat Allah kan tidak diberikan secara gratis seperti pulsa anda. Di sana ada usaha pencapaiannya. Masasih bisa dapat gaji 13 kalau tidak pernah bekerja selama 12 bulan. Itu namanya kecurangan. Dan curang bukan sifatnya Allah ta’ala sobat.”

Sebelum saya tutup tulisan ini. Saya beraharap kita semua dapat selalu mengevaluasi diri. Hati-hati. Pertanggung jawaban kita bukan hanya diri kita, tapi ada anak kita, ada istri kita, ada keluarga kita, ada generasi kita setelah kita. Jadi mohon, kita selalu berupaya untuk ahkirat dan dunia kita semaksimal mungkin.

Sekian dulu tulisan ini. Semoga bermanfaat

Wallahua’lam

Tolitoli, 23 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ingat Waktu ..... Dalam Setiap Aktivitas