Jumat, 07 November 2008

KEBAKARAN, KEPEKAAN DAN …?


Saya di pasar Segiri saat daerah Soetomo terbakar, dan pada saat itu masih banyak barang jualan saya. Perang batin pun terjadi antara mendatangi kebakaran sebagai wujud solidaritas kemanusiaan dan barang jualan yang pertama sekali saya jual dengan modal awal minjam kepada adikku Rp.50.000. Sekitar 15 menit dari pertama kali saya melihat asap yang menebal membelah kegelapan dengan kegelapan pula akhirnya saya putuskan untuk meninggalkan jualan saya. Buanyak orang yang menyaksikan kebakaran itu terjadi mulai dari para penjual yang ada di pasar segiri hingga orang yang dating setelah dibangunkan oleh sirine mobil pemadam kebakaran, namun kedatangan mereka sekedar untuk menyaksikan dan berspekulasi dengan apa yang terjadi, mengapa api itu ada. Mungkin disebabkan tidak adanya orang yang harus ditolong atau orang tidak mau ditolong karena curiga dan curiga sehingga kecurigaan itu dicurigai lagi oleh orang yang ingin menolong yang berakhir memilih diam dan bungkam.

Sebelum saya berangkat, pertanyaan yang muncul apa yang saya dapat perbuat dengan besarnya api disana, apa manfaat keberadaan saya disana, lagian saya tidak memiliki keluarga saya disana dan banyak orang pasar yang tidak meninggalkan barang jualannya sementara diantara orang pasar sendiri ada orang yang tinggal di daerah kebakaran. Bahkan tetangga jualan saya – yang saya tidak tau kapan perginya meninggalkan jualannya – eh ternyata adalah termasuk rumahnya yang dilahap api.

Aku bingung mengapa pertanyaan itu dating, padahal saya yakin – apalagi setelah saya berada di lokasi kebakaran, ternyata banyak sekali manfaat keberadaan saya disana, mulai ada orang yang minta tolong ambilkan tvnya yang akhirnya saya tidak bias juga mengambilkannya karena bersebelahan sekali dengan rumah terbakar, hingga berbagi ember untuk menyiram api yang besarnya serumah. Saya langsung teringat tentang hikayat burung pipit yang ingin memadamkan api yang membakar nabi Ibrahim as. Yang menjelaskan kepada kita bukan hasilnya namun usahanya bukan.

Untung saya memilih untuk berangkat jika tidak saya akan turut menyesal, mengapa tidak ada sekumur-kumur airpun yang saya tuangkan untuk berusaha memadamkan api tersebut. Padahal di sana ada rumah Allah yang yang juga ikut terbakar. Ampuni hamba ya Allah yang lambat mengambil keputusan.

SEmoga ini dapat bermanfaat di kemudian hari, ketika ada yang kejadian segeralah untuk meresponnya. Saya yakin pertolongan kita pasti akan dibutuhkan walau hanya sekedar air ludah kita untuk memadamkan api segedong – itu bila memang tidak ada air dan cara lagi untuk memadamkannya. Kata instruktur saya ketika saya mengikuti pelatihan SAR “menolong bukan lantas kita kontak langsung dengan korban, apalagi bila kita tidak cukup peralatan dan kemampuan untuk menolong korban, berteriak atau menelpon polisi dan lainnya juga termasuk menolong. Ingat korban cukuplah sang korban jangan ditambah lagi dengan keberadaan kita”.
Oh ya mungkin untuk masalah kebakaran di samarinda ini saya ingin mengusul kepada pemerintah dinas kebakaran – canda, setelah saya amati dan dengar kejadian ketika ingin memadamkan mobil pemadam sempat mencari-cari jalan untuk sampai pada titik api nah saya mengusulkan begini:
  1. Kota Samarinda sudah harus dipetakan, sehingga ketika ada kejadian terutama kebakaran sudah ada jalan cepat untuk menanggulaninya.
  2. Mungkin perlu selalu diadakan pelatihan antisipasi kebakaran kepada masyarkat yang daerahnya rawan kebakaran.
  3. Apa lagi ya. Sebenarnya sih buanyak tapi itu kalau Samarinda sudah makmur

3 komentar:

  1. Assalaamu alaikum nah ketahuan. pasti abis coa pake TSEL Flashkan..? Ngomong² " sandiwara Langit " ku di titip sama sapa. perasan belum pulang lo tu buku.??

    BalasHapus
  2. dimana -mena terjadi kebakaran. pusing aku, mengapa ya?????? negara lain yang ada musim panassnya saja kurang terjadi kebakaran. eh di Indonesia baru berapa hari kemarau sudah kebakaran melulu yang menghiasi koran-koran yang ada.

    BalasHapus

Ingat Waktu ..... Dalam Setiap Aktivitas