
JIka kita dalam keadaan sadar, pasti dalam kesadaran kita ada belenggu, ada pengikat. Karena ternyata setelah kita memahami sesuatu, kepemahaman kita sudah dijangkiti oleh pemahaman-pemahaman yang lain, kita tidak bebas secara mutlaq.
Kebenaran itu relative, begitu seorang filsuf yang mengatakannya dengan alasan bahwa boleh jadi di suatu tempat ada sesuatu yang dianggap benar namun di tempat lainnya hal itu dianggap tabu, atau sesuatu yang patut di jauhi.
Pemahaman akan relatifnya sebuah kebenaran, mungkin karena kesadaran kita yang diantar dengan keadaan dan doktrin-doktrin yang berbeda, atau bolehlah kita katakan bahwa wadah dalam memahami sesuatu itulah yang berbeda, bukan kebenarannya. Karena kebenaran itu satu dan bersifat universal, mudah dipahami dan dirasakan. Jadi bukanlah kebenaran yang relative, namun wadah kita dalam memahami kebeneranlah yang relative.
Banyak orang yang ingin terbebas dari ikatan hukum Tuhan, padahal bila dia menolak untuk masuk kedalam suatu pemahaman maka dia akan terjebak kepada pemahaman yang lain. Atau jika dia menolak untuk dipimpin Tuhan, maka sesungguhnya dia akan masuk dalam kepemimpinan yang dipimpin selain Tuhan. Artinya, secara haqiqi tidak ada orang yang dapat bebas secara mutlaq. Orang yang anti Tuhan dan berusaha menolak adanya Tuhan, akan tetap berada dalam belenggu-belenggu lainnya. Maka sesungguhnya orang tidak dapat berlari dari ikatan manapun.
Nah permasalannya bukan menghindari dari ikatan, atau terbebas dari segala apapun namun yang terpenting adalah kita berjalan di atas fitrah kita, di atas kebenaran yang universal dan di atas kebenaran yang diyakini oleh hati nurani kita, bukan hanya dengan rasa kita, tapi juga dengan pikir kita, sebab akibat, pengaruh dan akal kita.
Mengapa Islam atau orang memiliki Allah dihatinya adalah orang yang disebut bebas, karena dia telah menjadikan motivasi dan tujuannya adalah karena Allah, sehingga dia berusaha untuk bertindak sesuai dengan maunya Allah, bukan maunya dirinya, yang tidak memahami akan sebab akibat, pengaruh dan dampak dari apa yang kita perbuat. Dengan beriman kepada Allah kita tidak takut lagi dengan yang lainnya. Rasa sakit yang kita rasakan adalah rasa sakit yang tidak ada artinya dibandingkan dengan anungrah yang Allah berikan, kenikmatan yang ada tidak adalah artinya dibandingkan dengan kenikmatan yang dijamin oleh Allah. Lagi pula kan sama saja apa yang dirasakan oleh orang di dunia ini, ada sedih, ada bahagia, ada luka, ada duka dan ada suka. Orang beriman pun merasakan yang sama, namun semua akan berbeda jika sesuatu yang dirasakan itu bila dikembalikan kepada Allah.
Orang yang dapat bebas secara mutlaq adalah orang yang hadir kedunia ini tanpa ada suatu apapun disisinya, atau dia hidup dalam keadaan tidak sadar. Karena begitu dia sadar sementara ada sesuatu dia temukan disisinya maka hal-hal itulah atau sesuatu itulah yang akan menjadi presepsi awal dalam menilai hal-hal lainnya.
Jadi bukanlah orang yang bebas adalah orang yang mengatakan bahwa saya bebas semau gue, kalau saya mau tidur ya tidur, eit nanti dulu bila kau ingin tidur belum tentu kamu bisa tidur bukan, begitu juga kalau ada yang mengatakan saya mau makan ya saya makan, belum tentu dia bisa makan bukan?!. Kebebasan yang ada adalah kebebasan dimana kita tidak memiliki rasa takut lagi dalam beraktualisasi diri, tidak ada lagi yang mengekang kita, tidak ada lagi yang menghalangi kita. Bisa begitu?! Tidak akan bisa, yang memiliki kebebasan seperti itu dengan kemauan bebas yang luas hanyalah Tuhan. Kenapa kita tidak bisa, karena kita ada luka, ada duka, ada suka, ada sedih, ada rasa. Kita akan merasa bebas bila kita merasa dengan Tuhan Yang Maha Merdeka. Kita akan merasa bebas dalam ke-Maha Bebasan Allah. Kita akan merasa terbebas bila kita bersandar penuh kepada-Nya. Dan mengikuti apa mau-ya, karena ternyata dibalik ke-Bebasan Allah, dibalik Kemerdekaan Allah ada Adil-Nya, ada Kebijaksanaan-Nya, ada janji baik-Nya bagi yang mengikuti mau-Nya, bila tidak ada ancaman-Nya bila kita menolak akan mau-Nya. Lantas bisa kah kita bahagia dalam kebebasan yang terikat seperti itu?! Akan sangat berbahagia, atau lebih berbahagia dibangding kita bebas dalam mengikuti perintah syahwat kita sendiri, apalagi syahwatnya orang lain, syahwatnya syetan, syahwatnya stalin, syahwatnya Hitler, syahwatnya para pendeta dan rahib, syahwatnya sendiri, syahwatnya kaum liberal, syahwatnya kaum feodal, syahwatna para pemimpin-pemimpin yang tidak bersandar kepada mau-Nya Allah di muka bumi ini.
Yang jelas dalam kehidupan di dunia ini kita tidak akan bisa terbebas dari belenggu, atau ikatan. Jika kita terbebas dari yang satu maka kita akan masuk kedalam yang lainnya. Itu merupakan aksioma, atau bahasa polosnya film-film china ‘itu merupakan kutuk kehidupan’, atau bahasa iman, itu merupakan taqdir-Nya Allah ta’ala yang memang menciptakan kita dalam iradah-Nya, penciptaan yang bertujuan. Maka ikutilah apa mau-Nya karena Dia tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun dari amalan kita.