Selasa, 28 Juli 2009

LAKUKANLAH SENDIRI!!


Sesungguhnya yang menentukan masa depan kita adalah kita sendiri, sehingga harapan akan sesuatu, atau bahkan pekerjaan jika kita mampu untuk memikulnya akan sangat lebih baik kalau kita sendiri yang memikulnya. Karena dengan berharap kepada orang lain untuk melakukan sesuatu kepada diri kita, maka pada saat itu kita menyerahkan milik kita kepada probabilitas keberuntungan, atau pada sesuatu yang tidak jelas apakah kita akan mendapatkan apa yang kita maksud atau malah kita akan merasakan sesuatu yang merugikan.

Sesuatu hal yang harus ditanamkan dalam hati kita, dalam pikiran dan perasaan kita, dalam jiwa raga kita, sebuah komitmen untuk melakukan sesuatu yang bisa kita lakukan sendiri dan tidak merasa malu jika kita tidak dapat melakukan sesuatu karena ketidak sanggupan kita. Bila komitmen ini kita pegang dan berusaha untuk tampil apa adanya dengan kesungguhan yang dalam untuk mewujudkan atau beraktualisasi diri dengan upaya yang keras maka cukuplah dengan hasil apapun yang kita peroleh. Dan itu adalah hasil jerih payah kita.

Menggantungkan harapan kepada orang lain, atau berharap orang lain melakukan sesuatu untuk mewujudkan apa yang kita inginkan boleh-boleh saja, tetapi pada prinsipnya apa yang ada dalam benak kita biasanya berbeda setelah kita transper kedalam benak orang lain kecuali dengan visualisasi gambar yang jelas, pemetaan yang jelas dan rencana yang matang. Namun kejelasan ide yang kita transper kepada orang lain masih akan menjadi pertanyaan, apakah orang lain tersebut mau atau punya keinginan untuk melakukannya, mungkin terbersit dalam pikirannya, ah terlalu berat, mungkin juga terbersit dalam pikirannya, ah baru sampai di sini ternyata cara berpikirnya, dan lain-lain.
Atau begini, tetap saja kita percayakan kepada orang lain apa yang menjadi mimpi kita atau harapan kita, atau sesuatu pekerjaan yang belum mampu kita tangani sendiri asal ada beberapa syarat, seperti;
  • hal itu bukan merupakan sesuatu yang menjadi bagian prinsip yang essential
  • siap merelakan bila terjadi kesalahan-kesalahan setelah betul-betul mendapat controlling yang significant
  • adanya balasan yang stimpal yang kita janjikan bila mencapai derajat keberhasilan tertentu

    Pada intinya sesuatu pekerjaan yang dapat kita kerjakan sendiri maka kerjakanlah itu dengan perasaan ikhlas, dan apabila ada perkerjaan yang kita tidak sanggup mengerjakannya dan hal itu pasti ada maka serahkan pekerjaan itu dengan penuh tawakkal kepada Maha Pengatur alam semesta ini. Tetapi ingat sesuatu pekerjaan tanpa perencanaan yang matang, controlling yang detail, dan evaluasi biasanya pekerjaan itu tidak mencapai hasil yang sempurna.



Sudahkan kita beriman????


Sebenarnya banyak orang yang mengaku beriman, tetapi perasaan dalam menjaga imannya untuk tidak berkurang tidak lebih besar ketakutannya dibandingkan ketika menjaga barang-barang wasilahnya di dunia ini untuk tidak hilang. Iman adalah hak Allah untuk diberikan kepada siapa saja yang dikehendakinya, wasilah-wasilah atau materi atau rezeki yang ada di dunia ini juga hak Allah untuk membaginya kepada siapa saja yang dikehendakinya. Tapi kenapa kita masih lebih yakin akan hilangnya wasilah-wasilah yang ada dengan susahnya kita menemukan kembali, ketimbang iman yang berkurang dan sangat berat untuk menjadikan iman itu bertambah. Kenapa kita merasa lebih sedih, lebih takut ketika barang kita hilang setelah kita menikmatinya sekian lama dari pada iman yang berkurang dan membuat kita mulai melepaskan sedikit-sedikit ke-Islaman kita setelah kita pernah ‘jos’ dalam menggunakannya. Mungkinkah kita selama ini lebih yakin terhadap diri kita daripada Allah, mungkinkah selama ini kita lah yang telah mendatangkan atau memudahkan rezeki yang ada atau wasilah-wasilah yang ada sehingga sampai ke tangan kita akibat usaha kita. Padahal kemampuan usaha kita juga merupakan anugrah, kecerdasan kita juga anugrah, kesehatan kita juga anugrah, dan kemampuan merasakan nikmat yang ada, kemampuan menggunakan wasilah-wasilah yang ada juga anugrah, lantas mengapa kita lebih mementingkan hal yang besifat wasilah saja ketimbang hal yang mutlaq kita harus miliki, karena iman adalah kunci dari keridhoan Allah. Orang yang mati tidak memiliki wasilah, baik banyak maupun sedikit, tidak menjadi masalah, namun orang yang mati tidak memiliki iman adalah suatu yang menakutkan, mengerikan dan akan menyakitkan.
Atau mungkin orang atau manusia selama ini, selalu menghubungkan iman dengan rezeki, sehingga kalau rezekinya berkurang ini disebabkan iman mereka, beda halnya dengan orang kafir, orang-orang barat yang bermaksiat terus setiap hari eh rezekinya lebih enak, bisa terbang kemana-mana, bisa gonta-ganti bidadari dunia, sementara kita yang beriman makanpun susah. Eit nanti dulu, jangan-jangan kita Cuma menyaksikan film yang direkayasa sebegituuu mungkin, padahal hidup ini kan bukan Cuma jasad yang terlihat, namun di sana ada gejolak perasaan, buktinya Onasis orang yang pernah di hebohkan dengan kekayaannya yang luarrrr biasa buanyaknya, akhirnya kita dihebohkan kembali dengan kematiannya yang teragis, mati bunuh diri dalam keadaan telanjang di sebuah pulaunya.
Iman dan rezeki memang ada hubungannya. Namun terkadang gaya kita mensikapi iman dan rezeki itu yang belum nyambung. Orang Jepang tidak peduli dengan rezeki seberapa yang dia dapat ketika dia melakukan sesuatu, yang penting kerja, itu perinsip mereka, akhirnya ya mereka banyak dapat. Kita ini orang Indonesia hitung hasilnya dulu, baru nyambungkan dengan do’a lalu bekerja. Jika tidak dapat, do’anya yang disalahkan, Tuhannya tidak mau mendengar, bukan kerjanya dan perinsip kerjanya yang salah. Masalahnya boleh jadi disitu, mau menyamakan orang yang sudah bekerja bertahun-tahun, sudah propesional, lalu kita baru satu dua hari mau mendapat yang sama. Om-om. Atau mungkin cara kita yang bekerja salah, orang bekerja suatu hal mungkin menggunakan waktu 24 jamnya saja kurang untuk mendapatkan hasil yang maksimal menurut dia, eh tau-taunya datang kita dengan berbaik sangkaan kita kepada Allah setelah kita mendapat training dari instruktur MLM misalnya hanya sekedar ngomong dan Cuma beberapa jam waktu sisa kita gunakan bisa mendapat mer-C, om-om
Pecaya tidak, iman dan rezeki itu berhubungan, kalau enggak percaya perdalam lagi pemahaman bagaimana perjuangan nabi kita Muhammad saw. Butuh waktu 4 tahun pulang balik dari rumahnya ke pendakian gua Hiro untuk bisa mendapatkan Alqur-an, butuh waktu 2 tahun menengadahkan wajahnya ke-langit untuk dapat rezeki berupa perintah untuk berkiblat ke baitul haram, butuh 24 tahun untuk menyulap Mekkah kampungnya untuk menjadi kampung beriman. Ada luka sehingga giginya ada yang tanggal, ada duka sehingga anaknya dan istrinya meninggal karena perjuangan. Dan itu semua dia lakukan setelah Beliau saw mengimani bantuan Tuhan. Kita kok malah pengennya lebih hebat dari beliau, baru saja sholat dengan husyu –menurut kita, kok sudah pingin diberi karomah, jika mau jalan pas hujan dengan do’a kita bisa berhenti hujan, kalau ada yang sakit datang kepada kita Cuma diusap-usap saja tempat yang sakit langsung sembuh, kalau ada keinginan pergi ke Amerika jalan-jalan (sambil berdakwah katanya) langsung ada uang, rasanya pingin hidup yang serba pas-pasan, kalau mau makan pas ada makananan, kalau mau istri pas ada yang melamar, cantik lagi, kalau mau jengkol pas ada yang manjat. Ah pokoknya serba surga dech, kan itu janji gurutta setelah kamu bisa mengamalkan dzikir 5000 kali Tahlil, 5000 kali Sholawat dalam waktu 40 hari tak boleh putus. Eit setelah itu boleh putus kah tuan guru.
Iman dan rezeki, kok jadi pokok ya padahal kita tadi membahas iman dan wasilah kok bisa-bisanya kita bedakan penjagaannya. Yah kita menghibur diri lagi, semoga Allah menilai kita adalah hamba-Nya yang lagi sedang berproses, semoga beberapa hari kemudian, atau beberapa bulan, atau mungkin beberapa tahun kemudian, yang penting sebelum matilah mudahan, kita bisa menikmati hidup ini dengan penjagaan iman yang lebih dari pada yang lain. Amin.


PERLU KESERIUSAN TINGKAT TINGGI



Banyaknya permasalahan yang kita hadapi, adalah bagian dari kehidupan yang hakiki, bukan untuk di hindari akan tetapi harus diselesaikan, masalah akan bertumpuk, bila kita lamban dalam mensikapi masalah, masalah akan segera berganti dengan masalah lain bila kita tidak segera menyelesaikannya. Kehidupan ini tidak akan hilang dari masalah, karena masalah adalah bagian dari kehidupan, orang tidak akan memiliki masalah bila dia tidur terus, tapi ketika bangun maka akan terasa semua di sekitarnya bahkan termasuk tidurnya bermasalah. 
Masalah paling berat yang dimiliki oleh seseorang, boleh jadi ringan di sisi orang lain. Dan masalah ringan, kemungkinan bagi orang lain adalah masalah besar, bukan hanya karena pengetahuan dan pengalaman yang menentukan ringan dan beratnya suatu masalah, namun yang paling esensial adalah sikap mental dalam menghadapi masalah.
Orang yang memiliki Tuhan juga bermasalah, orang yang tidak mau menerima Tuhan juga bermasalah, namun akan menjadi beda dalam mensikapi masalah, orang yang dapat menyerahkan sepenuhnya masalahnya kepada Tuhannya dan berusaha menyelesaikannya, ketimbang orang yang menyerahkan masalahnya kepada dirinya dan berusaha menyelesaikannya. Sikap mental dapat mempengaruhi, namun sikap mental yang dilandasi iman akan lebih jauh mempengaruhi baiknya kesiapan seseorang dalam menghadapi masalah.

Perlu keseriusan tingkat tinggi ketika masalah yang kita hadapi adalah perkara malas untuk bekerja, malas untuk melakukan sesuatu, apalagi masalahnya akan bertambah ketika rasa malas itu dipicu dengan sakit yang sebenarnya bukan disebabkan oleh pekerjaan sehingga sakitnya bertambah, namun lebih karena kurang mengkonsumsi sesuatu yang menunjang kesehatannya. Keseriusan tingkat tinggi inilah yang harus dipupuk, yang insya Allah menyebabkan banyak masalah yang bisa diatasi dengan baik sehingga penyakit-penyakit yang ada bukan malah menjadi masalah namun akan menjadi berkurang. Insya Allah. Amin 


Ingat Waktu ..... Dalam Setiap Aktivitas